Selasa, 26 Mei 2015

HIWALAH (Pengalihan Utang)



Makalah : Fiqhi Muamalah

HIWALAH
 (Pengalihan Utang)

Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Mata Kuliah
Fiqhi Muamalah Pada Semester II Program Studi Kependidikan Islam


Disusun
Oleh
VAIN HADRAMI HAMID


JURUSAN TARBIYAH/KI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SULTAN QAIMUDDIN
KENDARI
2013

KATA PENGANTAR
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ. إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ. اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan berkah dan karunia-nya manusia dapat menikmati indahnya alam ini. Sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya yang telah membawa dunia ini kepada kedamaian, ilmu pengetahuan dan peradaban yang sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Sunnah.
Berkah rahmat Allah dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Al-Hawalah (Pengalihan Utang)’’Makalah ini disusun untuk melengkapi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah.
Kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata, Penulis sadar bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, terutama bagi para Pembaca Yang Budiman, untuk kesempurnaan makalah ini di masa mendatang.                


Kendari, 01 April 2013

Penulis




DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................            i
KATA PENGANTAR.................................................................................            ii
DAFTAR ISI.................................................................................................            iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang....................................................................................            1
B.     Rumusan Masalah...............................................................................            1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hawalah............................................................................            2
B.     Dasar Hukum Hawalah.......................................................................            3
C.     Rukun dan Syarat Hawalah................................................................            4
D.    Jenis-jenis Hawalah.............................................................................            5
E.     Hakikat Hawalah.................................................................................            6
BAB III PENETUP
A.    Kesimpulan..........................................................................................            7
B.     Saran....................................................................................................            7
DAFTAR  PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seiring dengan berkembang pesatnya suatu transaksi yang berlandaskan syariah khususnya dibidang bisnis jasa. Seperti lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank yang mengatas namakan hukum islam di dalamnya akan tetapi dalam pelaksanaannya sangat jauh sekali dengan hukum islam, untuk itu sebagai umat islam, kita harus mengetahui syariah dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku. Makalah yang kami buat ini akan memaparkan akad hiwalah yang merupakan salah satu akad terbaru yang bernotaben atas dasar tolong-menolong. Sungguh menarik untuk diketahui oleh kita semua selaku umat islam tentang akad hiwalah ini yang sudah pasti kita akan temukan bila bertransaksi di lembaga pembiayaan syariah.
Akan tetapi, kita juga harus mengerti bagaimanakah akad hawalah dalam islam, karena sebagai umat islam kita wajib mengetahui segala aspek hukum yang kita gunakan dalam kehidupan kita.
Maka dari itu dalam makalah ini kami akan memeparkan pelaksanaan dalam akad hawalah dan juga beberapa informasi aktual yang berhubungan dengan Hiwalah, agar nantinya kita bisa memahami proses pelaksanaan Hiwalah yang terjadi dimasyarakat, khususnya masyarakat Islam sendiri, sehingga ketika ada yang kurang sesuai dengan syariah, kita bisa meluruskannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa defenisi dari Hawalah ?
2.      Apa dasar hukum dari hawalah ?
3.      Bagaimanakah rukun dan syarat Hawalah ?
4.      Berapakah jenis-jenis dari Hawalah ?
5.      Apa sebenarnya hakikat dari Hawalah ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hiwalah
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan.
Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
1.      Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah adalah:
Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
2.      Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
3.      Menerut Idris Ahmad, Hiwalah adalah:
“Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan”.

Pada dasarnya definisi yang di kemukakan oleh ulama Hanafiyah dan jumhur ulama fiqh di atas sekalipun berbeda secara tekstual, tetapi secara subtansial mengandung pengertian yang sama, yaitu pemindahan hak menuntut utang kepada pihak lain ( ketiga ) atas dasar persetuan dari pihak yang memberi utang.[1]
B.     Dasar Hukum Hiwalah
Hiwalah dibolehkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’:
1.      Al-Qur’an
Allah Swt berfirman:
$ygƒr'¯»tƒالَّذِيْنَ كَاتِبٌ ءَامَنُواْإِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ فَلْيَكْتُبْ بِاالْعَدْلِ بَّيْنَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)

2.      Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR Jama’ah).
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu bersifat sunnah.


3.      Ijma’
Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.

C.    Rukun dan Syarat Hiwalah
1.      Rukun
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1.      Pihak pertama, muhil (المحيل):
Yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2.      Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال):
Yakni orang berpiutang kepada muhil.
3.      Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه):
Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4.      Ada hutang  pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به):
Yakni hutang muhil kepada muhtal.
5.      Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6.       Ada sighoh (pernyataan hiwalah).[2]

2.      Syarat Hiwalah
Persyaratan hiwalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhil, ia disyaratkan harus, pertama, berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hiwalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil. Kedua, kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia menerima akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Alaih. Pertama, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena tidak boleh dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di luar majlis.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua, hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.
D.    Jenis-Jenis Hiwalah
Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.
a.       Hawilah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
b.      Hawilah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
Hiwalah Haq
Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
Hiwalah Dayn
Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawalah Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.
E.     Hakikat Hiwalah
Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa hawalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual hutang dengan hutang. Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang paling dianggap sahih di kalangan Syafi’iah dan juga menurut salah satu riwayat di kalangan Hanabilah. Dasarnya adalah Hadist yang artinya : jika salah seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, maka terimalah (HR.Bukhari dan Muslim)

Yang sahih menurut Hanabilah bahwa hiwalah adalah murni transaksi irfaq (memberi manfaat) bukan yang lainnya.
Ibnu al-Qayyim berkata, “Kaidah-kaidah syara’ mendukung dibolehkannya hiwalah, dan ini sesuai dengan qiyas.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Seiring dengan berkembang pesatnya suatu transaksi yang berlandaskan syariah khususnya dibidang bisnis jasa. Seperti lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank yang mengatas namakan hukum islam di dalamnya akan tetapi dalam pelaksanaannya sangat jauh sekali dengan hukum islam, untuk itu sebagai umat islam, kita harus mengetahui syariah dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku.
Tapi sebelumnya kita juga harus mengerti bagaimanakah akad hawalah dalam islam, karena sebagai umat islam kita wajib mengetahui segala aspek hukum yang kita gunakan dalam kehidupan kita. agar nantinya kita bisa memahami proses pelaksanaan Hiwalah yang terjadi dimasyarakat, khususnya masyarakat Islam sendiri, sehingga ketika ada yang kurang sesuai dengan syariah, kita bisa meluruskannya.

B.     Saran
Allah swt sangat menyukai orang yang menjunjung tinggi agamaNYA, serta menganjurkan kita untuk tampil terdepan dalam membela agama Allah. Hal tersebut bisa terwujud jika kita benar-benar memahami islam dengan benar dan sunguh-sungguh.
Memahami islam dapat kita lakukan dalam berbagai aspek kehidupan diantaranya melalui mau dan bisa memahami dan menguasai hukum, syari’at dan kaidah-kaidah di dalam islam itu sendiri.







[1] Hendi Suhendi, fiqh muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2005.), h. 99, 100.
[2] Sulaiman Rasyid, Fiqh islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.), h. 312.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar